Rabu, 29 Juni 2011

Seorang Muslim Menghadapi Krisis

“Dan sungguh Kami akan menguji kamu sekalian dengan rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, kekurangan jiwa, dan kekurangan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar“

(Q.S. al-Baqarah [2]: 154)

Krisis keuangan global (global finance crisis) yang terjadi pada akhir tahun 2008 sesungguhnya bukan sesuatu yang mengejutkan, baik bagi para analisis ekonomi dunia. Menurut Hendri Saparini, Ph.D, dalam International Conference of Islamic Economic System (ICIES) di Jogja Expo Centre (JEC) pada tanggal 27-28 Desember 2008, krisis yang menelan Lehman Brother sebagai salah satu korban ini telah jauh-jauh hari diprediksi bakal terjadi oleh berbagai ekonom.

Prediksi ini tentu didasarkan pada kesimpulan dari berbagai analisa terhadap kecenderungan variabel-variabel ekonomi yang mengarah pada krisis. Dan bagi seorang muslim, di samping memang meyakini bahwa krisis ini jelas-jelas ‘dibiangi’ oleh ulah jahat ekonomi kapitalisme, kondisi krisis ini akan dihadapi dengan sikap siap siaga dan tentu saja kesabaran serta tetap bersyukur. Pertimbangannya cukup jelas; umat Islam mempunyai pegangan Alqur’an sebagai pedoman. Allah SWT jauh-jauh hari telah mewanti-wanti umat Islam, agar menyiapkan stamina keimanan dan kesabaran, untuk menghadapi suatu keadaan dimana rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, dan seterusnya sebagaimana ayat di atas.

Kalimat “dan sungguh kami akan menguji kamu sekalian” dalam lafazh Alqur’an-nya adalah وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ. Dalam lafazh tersebut terdapat huruf nun yang bersyaddah dan huruh laa. Dalam kaidah tata bahasa Arab, dua huruf tersebut memberikan arti “sungguh/ pasti terjadi” pada fi’il (kata kerja) yang diimbuhinya. Oleh karena itu krisis yang telah disinyalir oleh Allah tersebut di atas pasti terjadi. Apalagi memakai huruf ganda. Berarti krisis yang dimaksud sama sekali pasti terjadi. Dan bagi seorang muslim, keadaan seperti ini tidaklah berarti bencana tetapi menjadi sebuah peluang untuk meningkatkan kualitas keimanan.

Ayat di atas menginformasikan bahwa berbagai kondisi sulit-menjepit tersebut di atas sesungguhnya merupakan ujian. Ujian yang akan menjadi ajang pembuktian; apakah dengan ujian tersebut seorang muslim akan meningkat keimanannya atau sebaliknya. Setiap muslim sangat pasti melalui ujian ini. Karena, bagaimana mungkin seorang siswa akan naik kelas jika dia tidak terlebih dahulu menjalani sebuah ujian. Begitu juga dengan keimanan seseorang. Oleh karena itu, setelah ujian ini berakhir, ada seorang muslim yang keimanannya naik tingkatan dan ada yang sebaliknya.

***

Krisis keuangan global di atas telah sangat berdampak pada perekonomian Indonesia. Satu hal yang paling kentara adalah maraknya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) massal yang dilakukan oleh berbagai perusahaan-peruhaan yang mempunyai pasar di kawasan Eropa dan Amerika. Data terbaru adalah yang diberitakan Koran Tempo (03/04/2009). Sekitar 9.260 karyawan mengalami PHK dan 8.617 dirumahkan dari 81 perusahaan di 19 kabuapten di Jawa Tengah. Hal ini terjadi karena negara-negara konsumen komoditas di wilayah Eropa dan Amerika telah menghentikan transaksi akibat krisis tersebut. Dampaknya, akan terjadi penambahan pengangguran besar-besaran di Indonesia. Inilah yang dimaksud al Baqarah [2] ayat 154 sebagai salah satu bentuk “kekurangan harta”. Ayat tersebut sesungguhnya memberikan kesan efek domino dalam kehidupan. Semua rentetan bentuk krisis yang ada dalam ayat tersebut saling berhubungan dan berakibat satu sama lain. Kekurangan harta akan berefek pada kelaparan. Selanjutnya akan terjadi kekurangan jiwa (baca: kematian) dan menimbulkan ketakutan-ketakutan terhadap kondisi yang mengerikan tersebut.

Dalam surat al Insyirah [110] ayat 5-6, Allah berfirman:

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (٤)إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا(٥ )

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan (5) Sesungguhnya bersama kesulitan itu kemudahan (6)“

Ada dua perspektif yang bisa digunakan untuk memandang dua ayat kembar ini. Pertama, pandangan yang diterima secara umum bahwa setelah kesulitan yang kita alami maka akan ada berbagai kemudahan yang datang. Satu kesulitan dan berbagai kemudahan. Secara tata kebahasaan, kata الْعُسْر dalam bahasa Arab, karena ber-alif lam, dikenal dengan istilah ma’rifah atau khusus, menunjukkan pada sesuatu yang spesifik. Partikel alif lam dalam kata الْعُسْر sama dengan partikel the dalam bahasa Inggris. Sedangkan kata يُسْرًا termasuk kategori nakiroh (kebalikan ma’rifah) karena ber-alif lam sehingga bermakna umum; mencakup semua kemudahan. Oleh karena itu, pandangan pertama ini berkesimpulan bahwa kita hanya akan menemui satu saja kesulitan dan akan menemui berbagai kemudahan setelah melalui kesulitan tersebut. Kedua, pandangan yang lebih kontekstual tetapi berpegang pada makna zhahir ayat tersebut.

Dalam ayat tersebut sesungguhnya ada kata مَعَ yang berarti bersama; bukan kata بَعْدَ sehingga diterjemahkan “setelah”. Maka pandangan ini memaknai ayat tersebut bahwa suatu kondisi itu mempunyai potensi kesulitan dan kemudahan secara bersamaan. Yang membedakan adalah keyakinan kita pada Allah SWT bahwa setiap kondisi yang harus mampu menjadi ajang untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada-Nya.

Inilah yang terkenal dalam teori pembelajaran hidup bahwa perbedaan orang sukses dan gagal adalah cara pandangnya dalam melihat duduk persoalan. Bagi orang sukses, masalah yang ada dianggap sebagai peluang dan tantangan untuk meningkatkan kemampuan diri. Sedangkan orang gagal memandanganya sebagai hambatan. Kedua pandangan ini tentu tidak kontradiktif sehingga saling menafikan kebenaran satu sama lain bahkan saling melengkapi. Keduanya adalah ‘wejangan’ dari Allah SWT untuk menghadapi krisis.

***

Alqur`an menginformasikan bahwa kita, umat Islam, adalah umat yang terbaik (Q.S. Ali Imran [3]: 110). Pihak lain menghadapi krisis ini dengan ‘menambal-sulam’ sistem yang nyata-nyata destrukif (baca: kapitalisme). Umat Islam mempunyai konsep genuine untuk mengelola perekonomian (baca: ekonomi Islam). Di samping itu, kita memiliki spiritualitas dan metalitas untuk menghadapi kondisi sesulit apapun dengan positif. Sikap positif tersebut terwujud dengan tetap mensyukuri (menggunakan seefisien dan seefektif mungkin) apa yang ada, bersabar (bertahan dalam batas-batas agama kendati kebutuhan terus mengejar), dan yakin bahwa Allah pasti akan mengganjar sikap tersebut dengan rahmat-Nya, di dunia dan di akhirat. Untuk mengakhiri risalah ini, menarik untuk kita renungkan apa yang disampaikan oleh K.H. Abdullah Gymnastiar. Bahwa yang menjadi masalah bukanlah masalah itu sendiri tetapi sikap kita dalam menghadapi masalah tersebut.

“(Yaitu) orang-orang yang apabila musibah menimpa mereka, mereka berkata,” Sesungguhnya kami (ini) milik Allah dan sesungguhnya (hanya) kepada-Nya lah kami akan kembali” (Q.S. al-Baqarah [2]: 155).

Walllaahu a’lam bishshawwaab.

Imam Sofyan Abbas

Penggiat Aufklarung Studies

Copied by L-KMPI (Lesehan-Komunitas Mahasiswa Persatuan Islam) Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar